1.
Wanita haid di bulan Ramadhan
Diharamkan
berpuasa dan diwajibkan mengganti di bulan yang lain. Hal ini berdasar hadits
Mu’adzah : “Saya bertanya kepada ‘Aisyah ra ; “Kenapa wanita haidh
diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha
shalat?”. Maka ‘Aisyah ra berkata; “Apakah engkau seorang Haruri (salah satu
kelompok yang menyimpang)” Saya menjawab; “Saya bukan seorang Haruri, akan
tetapi saya bertanya”. Maka ‘Aisyah ra berkata; “ “Kami mengalami haidh pada
masa Rasulullah SAW , maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak
diperintahkan mengqadha shalat” (Riwayat Muslim 1/256/330) Imam Nawawi ketika
menjelaskan hadits diatas berkata; “Kewajiban wanita mengqadha puasa pada bulan
Ramadhan adalah kesepakatan para ‘ulama’ (Syarh Shahih Muslim 1/637) Adapun
hikmah dari hukum ini adalah karena wanita yang sedang haidh akan merasa lemah
karena keluarnya darah yang merupakan unsur kekuatan tubuh, oleh karena itu
diperintahkan untuk menjalankan puasa pada hari lain (Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyah 25/251). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata; “Apabila wanita suci dari haidh
sebelum fajar namun belum mandi junub sampai terbit fajar, lalu ia berniat
puasa, maka puasanya sah “ (Fathul Bari’ 1/299).Hal ini berdasar hadits: “Sesungguhnya
Rasulullah SAW masuk waktu subuh saat beliau masih dalam keadaan junub,
kemudian beliau mandi junub lalu berpuasa” (Riwayat Bukhari 4/123, Muslim 1109,
dari ‘Aisyah ra). Apabila seorang wanita telah berpuasa, akan tetapi ia keluar
haid beberapa saat sebelum waktu berbuka puasa, maka puasanya pada hari itu
tidak sah dan wajib di qadha (Lihat Ad Dima’ Ath Thayyibah, Syeikh Utsaimin
hal.28).
2. Hukum
memakai obat pencegah haid
Mengenai
masalah ini Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Memakai obat
pencegah haid dibolehkan dengan syarat: Pertama;Tidak membahayakan dirinya,
adapun kalau membahayakan maka terlarang sebagaimana firman Allah SWT : “Dan
janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan” (Al-Baqarah: 195)
sedangkan yang kedua; Dengan ijin suami mereka. Namun yang lebih baik bagi
mereka adalah tidak memakainya” (Lihat Ad Dima’ Ath Thayyibah,hal.57). Apabila
wanita yang mengkonsumsi obat pencegah haid tersebut kemudian benar-benar tidak
keluar darah haid, maka wajib baginya berpuasa (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’
1/198, 2/393, Tanbihat, syeikh shaleh Fauzan hal; 35). Berkata Imam Ahmad :
“Tidak mengapa seorang wanita memakai obat pencegah haidh, jika itu obat biasa”
(Al Mughni 1/368).
3. Wanita
istihadhah di bulan Ramadhan
Wanita
istihadhah (pendarahan karena penyakit bukan karena haid atau nifas) wajib
menjalankan puasa sebagaimana wanita suci. Imam Nawawi berkata; “Adapun shalat,
puasa , i’tikaf, membaca Al Qur’an, menyentuh dan membawa mushaf serta sujud
tilawah dan syukur juga kewajiban ibadah lainnya, maka wanita istihadhah sama
dengan wanita suci. Ini adalah ijma’ para ‘ulama’” (Syarh Shahih Muslim 1/631).
4. Wanita
hamil dan menyusui di bulan Ramadhan
Wanita
hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa atau khawatir dengan kesehatan
anaknya diperbolehkan tidak berpuasa tetapi wajib membayar fidyah dan tidak
wajib mengganti. Bentuk dari fidyah ini adalah memberi makan 1 orang miskin
untuk setiap hari yang ditinggalkan dengan makanan yang mengenyangkan. Waktu
pembayaran fidyah ada beberapa pilihan. Pertama, pada hari itu juga setiap hari
memberi makan 1 orang faqir. Kedua, membayar pada hari terakhir Ramadhan.
Ketiga, diperbolehkan pula membayar di luar bulan Ramadhan.
5. Wanita
dan shalat iedul fitri
Setiap
wanita disyariatkan menghadiri shalat iedul fitri, termasuk wanita yang sedang
haid sekalipun, akan tetapi wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan
mengikuti shalat, hanya mendengarkan khotbah shalat ied. Dalam sebuah hadits
disebutkan :
“Kami
diperintahkan untuk membawa keluar anak-anak perempuan muda dan wanita-wanita
yang haidh pada dua hari raya (agar) mereka menyaksikan kebaikan dan do’a
(kaum) muslimin, tetapi wanita yang haid menjauhkan diri dari tempat shalat”
(Riwayat Bukhari, Muslim, dari Ummu ‘Athiyyah ra )
“Kami
diperintahkan untuk keluar pada hari ‘ied, sampai-sampai kami mengeluarkan para
gadis dari pingitannya dan para wanita haidh, mereka berada dibelakang manusia,
maka merekapun bertakbir sebagaimana laki-laki bertakbir” (Riwayat Bukhari 971,
Muslim 890, dari Ummu Athiyah ra )
6. Hal
– hal lain yang berkaitan dengan wanita ketika berpuasa di bulan Ramadhan
·
Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk
mengetahui rasa dan suhu makanan yang disuapkan pada bayinya, selama makanan
tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan). Berkata Ibnu
‘Abbaas radhiyallaahu ‘anhu, “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi
cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya,
meskipun dia dalam keadaan berpuasa.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secaramu’allaq ( Fathul
Baary 4/154) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah
di dalam Musnad -nya 3/47.
·
Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium atau untuk
dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak
sampai melakukan jimaa’ (hubungan intim). Dari ‘Aisyah radhiyallaahu
‘anhaa, beliau berkata, “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi
wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa
hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang
paling bisa menguasai diri (hajat)nya.” Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131)
dan Muslim (1106). Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassaam, “Berkata penulis Al-Iqna’ (Ibnu
Muflih Al-Hambaly-ed.), ‘ Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan
jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya
tanpa ada khilaaf (perbedaan pendapat di kalangan ulama).’.”
v Jika dengan terjadinya
ciuman sampai mengeluarkan mani, berarti dia telah berbuka (batal puasanya)
berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu
Qudaamah menukil adanya ijma’ ulama tentang hal tersebut.
v Jika ciuman itu hanya
menyebabkan keluarnya madzi, tidaklah membatalkan/merusak puasanya.
v Jika dua orang wanita
saling bersentuhan (bergesekan) hingga menyebabkan keluarnya mani, puasa
keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qadha’(diganti) dan tidak
perlu membayar kaffarah.
v Jika seorang wanita
(yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka
tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.
7. Wanita
dan shalat tarawih
Shalat tarawih secara
berjamaah telah disyariatkan di dalam ajaran agama Islam, meliputi laki-laki
maupun wanita, dan disyariatkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jamaah
berdasarkan hadits Abu Dzar, “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan beliau tidak shalat
mengimami kami sedikit pun sejak awal bulan, hingga tersisa tujuh hari (dari
bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai
melewati sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak
shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat
pertengahan malam. Maka saya (Abu Dzar) berkata, ‘ Wahai Rasulullah,
seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai naafilah(sunnah),’
maka Rasulullah bersabda, ‘ Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat
bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyaam (shalat)
sepanjang malam itu.’ Maka ketika tersisa 4 malam beliau tidak shalat (bersama
kami) dan ketika tersisa 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya , istri-istrinya
dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami
takut tidak mendapati (melewatkan) Al-Falah. Berkata
seseorang, ‘ Apa itu Al-Falah?’ Saya (Abu Dzar) menjawab, ‘ As-Sahur (makan
sahur).’ Kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada
hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan.” Syaahid (sisi pendalilan)
dari hadits ini adalah ketika Nabi shallallaahu ‘ alaihi wa
aalihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat
lail. Wanita yang akan hadir di masjid untuk shalat tarawih berjamaah
disyaratkan agar aman dari fitnah, dan wajib menjaga hijabnya ketika sedang ke
masjid, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi,
tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang
biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya, sebagaimana firman Allah Subhaanahu
wa Ta’aala, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya.” [ An-Nur: 31 ] Disunnahkan
bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shaf mereka (para
wanita) dari belakang, sebab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa
sallam, dalam riwayat Muslim, bersabda,
خَيْرُ
صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ
آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.
“Sebaik-baik
shafnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang
paling belakang, dan sebaik-baik shafnya wanita adalah yang paling akhir dan
sejelek-jeleknya adalah yang paling depan.”
Dan dianjurkan bagi
wanita untuk segera keluar dari mesjid ketika selesai salam, dan tidak sampai
terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu
Salamah radhiyallaahu ‘anhaa, “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa aalihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak
ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) menilai -Wallaahu
A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi
wa sallam) agar para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat
(pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki.” (Diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhary) Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa
membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.
8. Wanita dan I’tikaf
·
I’tikaf disyariatkan (baca: disunnahkan) juga bagi wanita,
sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, “Adalah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh
hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah Subhaanahu wa Ta’aalamewafatkan
beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya
melakukan I’tikaf .”(Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 2026). Juga
dalam hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa lainnya, “Seorang
wanita yang sedang menjalani istihaadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah
riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat
warna merah dan kuning (dari darah istihaadhahnya) bahkan kadang-kadang kami
meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.” (Diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhary ( Fathul Baary 4/289)). Disyariatkan
bagi wanita yang hendak I’tikaf meminta izin suaminya atau walinya dan aman
dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Selain karena
banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini, juga karena adanya kaidah fiqih,
دَرْءُ
الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Mencegah
kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan.”
·
Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa
sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10
hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin ,
maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshaf meminta ‘Aisyah untuk meminta
izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika
Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan
(kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. ‘Aisyah berkata, “Dan adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam jika selesai
shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau
melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda, ‘ Apa ini?’ Maka dijawab, ‘ (ini
adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshah dan Zainab,’ maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda, ‘ Apakah mereka (para wanita itu)
benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini? Saya tidak (jadi)
melakukan I’tikaf.’ Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa
beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal.” Syaahid (sisi
pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shallallaahu ‘ alaihi
wa aalihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.
·
Berkata Imam An-Nawawy ( Al-Majmû’ 6/526),
“Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif,
diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam
rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan
syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri
dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallaahu
A’lam.”
·
Diperbolehkan bagi wanita haid untuk menyisir rambut suaminya yang
sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Adalah Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku
sementara beliau tinggal di masjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil.”(Diriwayatkan
oleh Imam Bukhary no. 2029).
·
Wanita yang mengalami istihaadhah diperbolehkan untuk melakukan
I’tikaf, sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary
yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah
yang sedang mengalami istihaadhah.
·
Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang
I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullaahu ta’aala berkata
bahwa Shafiyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mengatakan
padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa
aalihi wa sallam untuk menjenguknya di masjid pada sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shafiyah) berbincang-bincang dengan Nabi
beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya),
maka bangkitlah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersamanya
untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu masjid (yaitu) pintu Ummu
Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshar, keduanya memberi salam kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, maka berkata
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, “Pelan-pelanlah
(tenanglah) kalian, dia itu adalah Shafiyah binti Huyai,” maka keduanya
berkata, “Maha suci Allah, wahai Rasulullah.” Karena keduanya merasa sangat
bersalah, maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya syaithaan itu bisa masuk ke anak cucu Adam ke dalam darahnya dan
aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan sesuatu ke dalam hati kalian berdua.”
·
Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang
I’tikaf, bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa hal itu dilarang.
·
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam
keadaan I’tikaf, maka dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya. Seorang
wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang berI’tikaf, maka
sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah
suaminya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan
bertaqwalah kalian pada Allah Subhaanahu wa Ta’aala,Rabb kalian, dan janganlah
kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan
janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji
yang jelas.” [ Ath-Thalaaq: 1 ]
Wallaahu A’lam.
Daftar pustaka :