Selasa, 31 Juli 2012

WANITA DI BULAN RAMADHAN



1.    Wanita haid di bulan Ramadhan
Diharamkan berpuasa dan diwajibkan mengganti di bulan yang lain. Hal ini berdasar hadits Mu’adzah : “Saya bertanya kepada ‘Aisyah ra ; “Kenapa wanita haidh diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat?”. Maka ‘Aisyah ra berkata; “Apakah engkau seorang Haruri (salah satu kelompok yang menyimpang)” Saya menjawab; “Saya bukan seorang Haruri, akan tetapi saya bertanya”. Maka ‘Aisyah ra berkata; “ “Kami mengalami haidh pada masa Rasulullah SAW , maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat” (Riwayat Muslim 1/256/330) Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits diatas berkata; “Kewajiban wanita mengqadha puasa pada bulan Ramadhan adalah kesepakatan para ‘ulama’ (Syarh Shahih Muslim 1/637) Adapun hikmah dari hukum ini adalah karena wanita yang sedang haidh akan merasa lemah karena keluarnya darah yang merupakan unsur kekuatan tubuh, oleh karena itu diperintahkan untuk menjalankan puasa pada hari lain (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 25/251). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata; “Apabila wanita suci dari haidh sebelum fajar namun belum mandi junub sampai terbit fajar, lalu ia berniat puasa, maka puasanya sah “ (Fathul Bari’ 1/299).Hal ini berdasar hadits: “Sesungguhnya Rasulullah SAW masuk waktu subuh saat beliau masih dalam keadaan junub, kemudian beliau mandi junub lalu berpuasa” (Riwayat Bukhari 4/123, Muslim 1109, dari ‘Aisyah ra). Apabila seorang wanita telah berpuasa, akan tetapi ia keluar haid beberapa saat sebelum waktu berbuka puasa, maka puasanya pada hari itu tidak sah dan wajib di qadha (Lihat Ad Dima’ Ath Thayyibah, Syeikh Utsaimin hal.28).
2.    Hukum memakai obat pencegah haid
Mengenai masalah ini Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Memakai obat pencegah haid dibolehkan dengan syarat: Pertama;Tidak membahayakan dirinya, adapun kalau membahayakan maka terlarang sebagaimana firman Allah SWT : “Dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan” (Al-Baqarah: 195) sedangkan yang kedua; Dengan ijin suami mereka. Namun yang lebih baik bagi mereka adalah tidak memakainya” (Lihat Ad Dima’ Ath Thayyibah,hal.57). Apabila wanita yang mengkonsumsi obat pencegah haid tersebut kemudian benar-benar tidak keluar darah haid, maka wajib baginya berpuasa (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/198, 2/393, Tanbihat, syeikh shaleh Fauzan hal; 35). Berkata Imam Ahmad : “Tidak mengapa seorang wanita memakai obat pencegah haidh, jika itu obat biasa” (Al Mughni 1/368).
3.    Wanita istihadhah di bulan Ramadhan
Wanita istihadhah (pendarahan karena penyakit bukan karena haid atau nifas) wajib menjalankan puasa sebagaimana wanita suci. Imam Nawawi berkata; “Adapun shalat, puasa , i’tikaf, membaca Al Qur’an, menyentuh dan membawa mushaf serta sujud tilawah dan syukur juga kewajiban ibadah lainnya, maka wanita istihadhah sama dengan wanita suci. Ini adalah ijma’ para ‘ulama’” (Syarh Shahih Muslim 1/631).
4.    Wanita hamil dan menyusui di bulan Ramadhan
Wanita hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa atau khawatir dengan kesehatan anaknya diperbolehkan tidak berpuasa tetapi wajib membayar fidyah dan tidak wajib mengganti. Bentuk dari fidyah ini adalah memberi makan 1 orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan dengan makanan yang mengenyangkan. Waktu pembayaran fidyah ada beberapa pilihan. Pertama, pada hari itu juga setiap hari memberi makan 1 orang faqir. Kedua, membayar pada hari terakhir Ramadhan. Ketiga, diperbolehkan pula membayar di luar bulan Ramadhan.
5.    Wanita dan shalat iedul fitri
Setiap wanita disyariatkan menghadiri shalat iedul fitri, termasuk wanita yang sedang haid sekalipun, akan tetapi wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan mengikuti shalat, hanya mendengarkan khotbah shalat ied. Dalam sebuah hadits disebutkan :
“Kami diperintahkan untuk membawa keluar anak-anak perempuan muda dan wanita-wanita yang haidh pada dua hari raya (agar) mereka menyaksikan kebaikan dan do’a (kaum) muslimin, tetapi wanita yang haid menjauhkan diri dari tempat shalat” (Riwayat Bukhari, Muslim, dari Ummu ‘Athiyyah ra )
“Kami diperintahkan untuk keluar pada hari ‘ied, sampai-sampai kami mengeluarkan para gadis dari pingitannya dan para wanita haidh, mereka berada dibelakang manusia, maka merekapun bertakbir sebagaimana laki-laki bertakbir” (Riwayat Bukhari 971, Muslim 890, dari Ummu Athiyah ra )
6.    Hal – hal lain yang berkaitan dengan wanita ketika berpuasa di bulan Ramadhan
·         Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasa dan suhu makanan yang disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan). Berkata Ibnu ‘Abbaas radhiyallaahu ‘anhu, “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, meskipun dia dalam keadaan berpuasa.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secaramu’allaq ( Fathul Baary 4/154) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnad -nya 3/47.
·         Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jimaa’ (hubungan intim). Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, beliau berkata, “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat)nya.” Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106). Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassaam, “Berkata penulis Al-Iqna’ (Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.), ‘ Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaaf (perbedaan pendapat di kalangan ulama).’.”
v  Jika dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani, berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudaamah menukil adanya ijma’ ulama tentang hal tersebut.
v  Jika ciuman itu hanya menyebabkan keluarnya madzi, tidaklah membatalkan/merusak puasanya.
v  Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) hingga menyebabkan keluarnya mani, puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qadha’(diganti) dan tidak perlu membayar kaffarah.
v  Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.
7.    Wanita dan shalat tarawih
Shalat tarawih secara berjamaah telah disyariatkan di dalam ajaran agama Islam, meliputi laki-laki maupun wanita, dan disyariatkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jamaah berdasarkan hadits Abu Dzar, “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikit pun sejak awal bulan, hingga tersisa tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai melewati sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka saya (Abu Dzar) berkata, ‘ Wahai Rasulullah, seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai naafilah(sunnah),’ maka Rasulullah bersabda, ‘ Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyaam (shalat) sepanjang malam itu.’ Maka ketika tersisa 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tersisa 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya , istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak mendapati (melewatkan) Al-Falah. Berkata seseorang, ‘ Apa itu Al-Falah?’ Saya (Abu Dzar) menjawab, ‘ As-Sahur (makan sahur).’ Kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan.” Syaahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shallallaahu ‘ alaihi wa aalihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail. Wanita yang akan hadir di masjid untuk shalat tarawih berjamaah disyaratkan agar aman dari fitnah, dan wajib menjaga hijabnya ketika sedang ke masjid, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” [ An-Nur: 31 ] Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shaf mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dalam riwayat Muslim, bersabda,
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.
“Sebaik-baik shafnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shafnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan.”
Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid ketika selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anhaa, “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) menilai -Wallaahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam) agar para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary) Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.
8.    Wanita dan I’tikaf
·         I’tikaf disyariatkan (baca: disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah Subhaanahu wa Ta’aalamewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf .”(Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 2026). Juga dalam hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa lainnya, “Seorang wanita yang sedang menjalani istihaadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihaadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary ( Fathul Baary 4/289)). Disyariatkan bagi wanita yang hendak I’tikaf meminta izin suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Selain karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini, juga karena adanya kaidah fiqih,
دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan.”
·         Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin , maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshaf meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. ‘Aisyah berkata, “Dan adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda, ‘ Apa ini?’ Maka dijawab, ‘ (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshah dan Zainab,’ maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda, ‘ Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini? Saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf.’ Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal.” Syaahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shallallaahu ‘ alaihi wa aalihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.
·         Berkata Imam An-Nawawy ( Al-Majmû’ 6/526), “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallaahu A’lam.
·         Diperbolehkan bagi wanita haid untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di masjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil.”(Diriwayatkan oleh Imam Bukhary no. 2029).
·         Wanita yang mengalami istihaadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf, sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihaadhah.
·         Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullaahu ta’aala berkata bahwa Shafiyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa aalihi wa sallam untuk menjenguknya di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shafiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu masjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshar, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, maka berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, “Pelan-pelanlah (tenanglah) kalian, dia itu adalah Shafiyah binti Huyai,” maka keduanya berkata, “Maha suci Allah, wahai Rasulullah.” Karena keduanya merasa sangat bersalah, maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syaithaan itu bisa masuk ke anak cucu Adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan sesuatu ke dalam hati kalian berdua.”
·         Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf, bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.
·         Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, maka dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya. Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang berI’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan bertaqwalah kalian pada Allah Subhaanahu wa Ta’aala,Rabb kalian, dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas.” [ Ath-Thalaaq: 1 ]
Wallaahu A’lam.

Daftar pustaka :

Minggu, 22 Juli 2012

My Inspiration :)

Assalamu'alaykum sobat ^^
penasaran khan sama gambar di atas :D
yaps, mereka adalan sumber inspirasiku,,,
dari kiri ke kanan :
Niam (https://www.facebook.com/jameela.ahoiy), Ayu (https://www.facebook.com/blackmamba.arasta?ref=ts) , Amalia (https://www.facebook.com/amalia.dyah.1), Me (https://www.facebook.com/siefha.yantie), deg Alfian (https://www.facebook.com/AkhiAllfineDienulMaulana), Fariz (https://www.facebook.com/aizcheryz), deg Bryan (https://www.facebook.com/akihiro.oncosinus) ^^
setiap melihat senyum di wajah mereka, hati ini rasanya dingin, tenang :)
sebaliknya ketika melihat mereka bersedih hati ini pun akan menjadi sakit :(
semoga Allah mengekalkan persaudaraan atas dasar cinta kepadaNYA ini sampai akhir hayat ^^ aamiiin
semoga sukses bersama, hamasah !